Pernyataan Sikap FPBI – KPBI Memperingati Hari Perempuan IWD (International Women Day) yang jatuh pada tanggal 8 Maret sepatutnya dijadikan momentum kebangkitan kaum buruh perempuan untuk terus berjuang menuntut segala hak-haknya. Mengenangkan kembali sebuah peristiwa besar yang mengguncang seluruh dunia, yang mengubah arah sejarah, yang dampaknya masih terasa sampai sekarang-namun yang juga diupayakan pelupaannya oleh para intelektual pengabdi kelas berkuasa-klas pemodal.
Pada masyarakat yang hidup pada masa-masa awal perkembangan industrialisasi dunia (1750-1850). Dibalik gembar-gembor keberhasilan industrialisasi, peningkatan pendapatan per kapita negara-negara di dunia, dibutuhkan tenaga kerja upahan yang hasil kerjanya dirampas oleh kapitalis untuk akumulasi dan perluasan modal mereka. Bagi mereka yang tak punya modal dan alat produksi, maka bekerja berupah rendah sebagai bahan bakar industri kapitalis adalah pilihan terakhir yang masuk akal. Dan mereka adalah laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak di bawah umur.
Bekerja sehari penuh selama 12 jam atau lebih bahkan bagi anak-anak, kondisi kerja yang buruk (sempit, pengap, mudah banjir), upah rendah, sedangkan bagi para perempuan mereka juga tak boleh mempunyai hak politik dalam pemilu.
Penindasan tersebut telah berlangsung selama puluhan tahun sejak revolusi industri berjalan. Situasi tersebut lah yang memicu 15.000 perempuan pekerja industri tekstil di kota New York - AS, salah satu jantung industrialisasi dunia pada saat itu melakukan demonstrasi besar-besaran pada 8 Maret 1908. Dari situlah gerak perubahan kondisi pekerja ke arah yang lebih baik menjadi semakin nyata.
Situasi tersebut kemudian menginspirasi berbagai kelompok gerakan perempuan dunia yang sedang melawan dampak jahat kapitalisme industri. Salah satunya adalah Clara Zetkin, salah seorang perempuan sosialis di Berlin-Jerman yang telah aktif terlibat dalam perjuangan isu-isu perempuan dan anak sebelumnya.
Tingginya penindasan terhadap perempuan dan mengkualitasnya gerakan perempuan menuntut hak menjadi dasar dalam Konferensi Perempuan Internasional 1910 di Kopenhagen-Denmark yang dihadiri oleh 17 negara menetapkan untuk semakin serius mengangkat isu perempuan. Dan menetapkan untuk setiap tahunnya melakukan demonstrasi massal demi tercapainya hak dan keadilan bagi perempuan pada 8 Maret yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional.
Kondisi masyarakat diatas tidak jauh berbeda dengan saat ini,dimana kapitalisme sebagai system yang menghamba pada kepentingan kaum modal masih bercokol dimuka bumi.krisis kapitalisme yang tejadi dalam kurun waktu terakhir belum juga menemukan jalan keluarnya dan semakin nyata membuktikan bahwa system kapitalisme sudah using-tidak mampu mensejahterakan rakyat.
Upaya upaya penyelamatan krisis yang terus dilakukan dengan adanya kebijakan kebijakan politik yang sangat merugikan rakyat terlebih bagi kaum buruh. Upaya penyelamtan krisi tersebut terlihat jelas misalnya menghemat ongkos produksi dimana hal yang paling mungkin dilakukan adalah dengan memangkas biaya tenaga kerja dengan memberlakukan politik upah murah dan menghilangkan kadar kesejahteraan kaum buruh perempuan terkhusus secara pelan-pelan.
Selain politik upah murah, mekanisme system kerja kontrak dan ousorching, pengilangan hak–hak cuti. Tidak diberikanya asuransi kesehatan, jamsostek, dll Artinya penindasan terhadap buruh akan terus belangsung termasuk di dalamnya perlakuan semena-mena terhadap buruh perempuan, Dalam dunia kerja,kaum perempuan lebih rentan dibandingkan dengan laki–laki, Perempuan lebih banyak menerima diskriminasi dari perusahaan.sisi lemah perempuan dimanfaatkan oleh pengusaha untuk diperlakukan eksploitasi.
Tidak ada cuti haid, cuti hamil, serta cuti keguguran yang layak, tak ada perlindungan dari pelecehan seksual di pabrik/tempat kerja yang sangat banyak terjadi; tidak ada pojok-pojok ASI di tempat kerja yang padahal telah menjadi bagian dari hak normatif.
Demikian lah sebagian fakta atau kenyataan yang harus dihadapi perempuan dalam dunia kerja, padahal Undang-Undang yang berlaku dalam Negara ini (meskipun aturan tersebut masih menguntungkan para pemodal) sudah jelas bahwa kesejahteraan, kesetaraan sebagai warga Negara adalah sama. Dan secara khusus mengenai hak-hak perempuan dalam dunia kerja termaktub dalam Undang-Undang Tenaga kerja 13 tahun 2003 seperti hak cuti (haid, hamil, melahirkan, keguguran dll), hak fasilitas tambahan ketika bekerja pada malam hari, hak mendapatkan upah yang sama, singkatnya buruh perempuan memiliki hak yang sama dengan buruh laki-laki tanpa diskriminasi.
Bahwa kaum perempuan secara hak faktanya hingga saat ini masih jauh dari apa yang semestinya didapatkan. Perempuan masih menjadi subordinat dalam kehidupan ekonomi dan politik, kaum perempuan masih dominan hanya dipandang sebagai kaum yang lemah dan pantas berposisi hanya sekedar mengurus sumur, dapur dan kasur seperti kenyataan perempuan pada masa sebelumnya. Kaum perempuan masih dipandang hanyalah sebagai pemuas dan penghias kehidupan laki-laki. Sehingga yang pantas menguasai dan berperan aktif di semua bidang adalah laki-laki. Hal ini merupakan bagian dari dasar-dasar yang menyebabkan kaum perempuan teralienasi (terasing) sebagai seorang yang produktif dalam segi ekonomi dan politik.
Kenyataan obyektif ini tentu tidaklah datang begitu saja Bim Salabim seperti tukang sulap yang sedang bermain sulap. Akan tetapi kenyataan obyektif tersebut adalah hasil dari bentukan atau ciptaan system masyarakatnya. Pada masyarakat sebelum kapitalisme perempuan hanya mengurus urusan domestic dan pada masa kapitalisme yang maju tetap saja tidaklah lebih berposisi hanya sekedar pemuas, penghias dan sebuah komoditi yang bisa dieksploitasi dan mendatangkan keuntungan bagi si klas pemodal.
Bahwa benar kaum perempuan sekarang tidak sekedar mengurus rumah tangga saja, bahwa benar perempuan sekarang sudah bisa mendapatkan ruang berpolitik. Tapi ketika mereka bekerja menjadi kaum yang terhisap, ketika mereka ikut berpolitik masih menjadi orang yang dipaksa untuk mengikuti politik ala borjuasi, itupun tingkat partisifasi perempuan dalam politik masih dibatasi. Padahal kalau mau diakui secara jujur sesungguhnya kaum perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan baik dalam produksi maupun reproduksi.
Maka menjadi terang ekonomi ala kapitalisme, politik ala kapitalisme tidaklah menghilangkan penghisapan rakyat terutama kaum perempuan, justru sebaliknya semakin menjadikan perempuan tersubordinat dan semakin teralienasi (terasing) dari lingkungan social ekonomi politik masyarakatnya. Kapitalisme lah sebab semua itu dan musuh kami sesungguhnya bukanlah suami, saudara ataupun kawan dan teman kami dari kaum laki-laki itu tapi KAPITALISME LAH MUSUH SEJATI KAMI. Berdasarkan situasi obyektif kami dari FEDERASI PERJUANGAN BURUH INDONESIA (FPBI) MENUNTUT:
- Hapuskan system kerja kontrak&Outsourcing
- Hapuskan segala bentuk diskiminasi terhadap kaum perempuan dalam bentuk apapun.
- Tolak kekerasan terhadap kaum perempuan dalam bentuk apapun.
- Berikan hak ekonomi dan politik kaum perempuan sepenuh-penuhnya tanpa diskriminasi.
Dan Kami menyerukan :
- Agar kaum perempuan bangkit, berorganisasi, dan membangun pergerakan, karena kesejahteraan dan kesetaraan tak akan diberi namun diperjuangkan.
- Bersatu memperjuangan perubahan sistem ekonomi yang menjamin distribusi yang adil atas sumber-sumber kemakmuran dan kesempatan yang sama bagi perempuan.
- Bersatu memperjuangkan sistem politik dan kekuasaan yang menjamin ruang partisipasi penuh bagi perempuan dan laki-laki.
- Bersatu melawan semua kebijakan politik yang merugikan perempuan pada khususnya, dan rakyat secara umum: penangguhan upah, pemberangusan serikat pekerja (Union Busting), berbagai UU dan peraturan daerah yang mengatur tubuh dan ruang gerak perempuan, rencana UU Keamanan Nasional dan Organisasi Massa, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, komersialisasi pendidikan dan kurikulum pendidikan yang anti kesetaraan jender dan hak-hak seksual.
- Ketidakpercayaan terhadap elit-elit politik di dalam partai-partai yang ada saat ini, yang kerjanya hanya memperdagangkan nasib rakyat, korupsi, dan berbohong saat pemilu.